Selasa, 04 Agustus 2020

Djoko Tjandra : Naga di Balik Kasus Cessie Bank Bali


Djoko Tjandra : Naga di Balik Kasus Cessie Bank Bali

Lebih dari satu dekade jauhnya, Kantor Kejaksaan Agung yang buron, Djoko Sugiarto Tjandra atau Djoko Tjandra tiba-tiba muncul.

Djoko Tjandra muncul setelah mengajukan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni.

Namun, pendaftaran itu tidak dilakukan secara langsung atau dengan mengunjungi Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. sbobet

Sebagai gantinya, melalui Sistem Layanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sehingga identitas pendaftar tidak diketahui.

Jadi, siapa Djoko Tjandra?


Dia adalah Direktur PT Era Giat Prima (EGP) yang menandatangani perjanjian cessie Bank Bali dengan Bank Nasional Indonesia (BDNI).

Dilaporkan dari Kompas.com pada 2008, identitas Djoko identik dengan Grup Mulia yang memiliki bisnis properti inti.

Grup ini didirikan oleh perusahaan patungan dari empat bersaudara yaitu Tjandra Kusuma, Eka Tjandranegara, dan Gunawan Tjandra, selain oleh Djoko Tjandra sendiri.

Pada 1990-an, kelompok ini bahkan menjadi komandan utama dalam kepemilikan properti kantor seperti Taman Kantor Lima Pilar, Gedung Lippo Life, Menara Kuningan, BRI II, dan Mulia Centre.

Grup Mulia juga memiliki 41 anak perusahaan di dalam dan luar negeri. Selain properti, grup, yang pada tahun 1998 memiliki aset Rp 11,5 triliun, juga mulai berekspansi ke bisnis keramik, logam dan kaca.

Awal mula kasus cessie Bank Bali 


Skandal cessie Bank Bali dimulai ketika bank mengalami kesulitan mengumpulkan piutang yang tertanam dalam BDNI, Bank Komersial Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada tahun 1997. Pada saat itu krisis moneter melanda sejumlah negara termasuk Indonesia.
Total piutang dari ketiga bank mencapai Rp3 triliun.

Namun, sampai ketiga bank dirawat di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tidak mengalir.

Dilaporkan dari liputan khusus Kontan, di tengah keputusasaannya, Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli akhirnya menjalin kemitraan dengan PT EGP.

Pada waktu itu, Djoko Tjandra adalah direktur dan Setya Novanto, yang pada waktu itu adalah Bendahara Umum Partai Golkar, menjabat sebagai Direktur Utama.

Perjanjian kerja sama ditandatangani pada 11 Januari 1999 oleh Rudy Ramly, Direktur Bank Bali Firman Sucahya dan Setya Novanto. Dikatakan bahwa EGP akan menerima bayaran setengah dari tagihan yang dapat ditagih.

Bank Indonesia dan BPPN akhirnya sepakat untuk mengeluarkan sejumlah Rp. 905 miliar. Namun, Bank Bali hanya menerima Rp. 359 miliar, sedangkan sisanya Rp. 546 miliar masuk ke rekening PT EGP.

Terkuak 


Tapi kasus itu terungkap ketika pakar hukum perbankan Pradjoto mengendus korelasi dengan penggalangan dana untuk memajukan Habibie sebagai presiden.

Perbedaan ini dapat dilihat dari total biaya yang diterima oleh EGP.

Selain itu, proses cessie juga tidak diketahui oleh BPPN. Faktanya, BDNI saat ini sedang dirawat oleh BPPN.

Cessie juga tidak dilaporkan ke Bapepam dan Bursa Efek Jakarta, meskipun Bank of Bali telah turun ke lantai. Selain itu, pengumpulan ke BPPN masih dilakukan oleh Bank Bali, bukan EGP.

Kepala BPPN pada saat itu, Glenn MS Yusuf, yang menyadari sejumlah penyimpangan, akhirnya membatalkan perjanjian cessie.

Sebutan "Joker" 


Pada tanggal 27 September 1999, Kejaksaan Agung mulai menyelidiki kasus pidana Djoko Tjandra.

Awalnya, Djoko ditahan oleh kantor kejaksaan pada 29 September 1999-8 November 1999. Namun setelah itu, ia menjadi tahanan kota hingga 13 Januari 2000.

Selain Djoko, Kejaksaan Agung diketahui telah menetapkan sejumlah tersangka, termasuk mantan Gubernur BI Syahril Sabirin, Wakil Kepala BPPN Pande Lubis, mantan Menteri BUMN Tanri Abeng, dan Rudy Ramli.

Namun, dari sejumlah nama, hanya tiga yang akhirnya diadili yaitu Djoko Tjandra, Syahril dan Pande Lubis.

Mulai Februari 2000, kasus kriminal mulai bergulir ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Meskipun Kejaksaan Agung sebelumnya telah menahan Djoko pada 14 Januari - 10 Februari 2000, Djoko akhirnya kembali ke status tahanan kota pada 10 Februari, berkat keputusan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pada 6 Maret, putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa dakwaan jaksa penuntut terhadap Djoko tidak dapat diterima. Dia dibebaskan dari tahanan kota.

Mantan Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Khusus dalam Kasus Yahya Rahman pernah memanggil Djoko Tjandra dengan nama "Joker".

Nama Joker muncul dalam percakapan antara Kemas Yahya Rahman dan Artalyta Suryani, yang kemudian menjadi kasus penuntut suap yang terkait kasus BLBI.

Boxing sendiri dianggap tidak terlibat dalam kasus ini, meskipun sudah diperiksa secara internal oleh Kejaksaan Agung dan KPK. Selama pemeriksaan dan persidangan terungkap bahwa nama "Joker" dalam percakapan itu adalah Djoko S Tjandra.

Jaksa juga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dalam rentang April-Agustus 2000, jaksa penuntut umum (Jaksa Penuntut Umum) Antasari Azhar mengajukan dakwaan dalam bentuk dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.

Dia juga menuntut hukuman penjara 1 tahun 6 bulan. Tetapi majelis hakim yang diketuai oleh Soedarto dan Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun sebagai anggota membebaskan Djoko Tjandra dari semua tuduhan.

Dalam keputusannya, panel menyatakan bahwa dakwaan jaksa terbukti secara hukum. Namun, tindakan itu dianggap bukan sebagai tindak pidana, tetapi sebagai tindakan perdata.

Vonis 2 tahun 


Antasari juga mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Namun, majelis hakim Mahkamah Agung kembali membebaskan Djoko Tjandra dari semua dakwaan.

Keputusan itu diambil dengan mekanisme pemungutan suara karena perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M. Said Harahap, dan hakim Artidjo Alkostar.

Kemudian, pada Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

Majelis PK yang diketuai oleh Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa dan Artidjo Alkostar menerima PK yang diajukan oleh jaksa penuntut.

Selain menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun atau lebih berat dari tuntutan jaksa di tingkat banding, uang Djoko di Bank Bali sebesar Rp. 546 miliar disita untuk negara.

Kabur 


Namun, sehari sebelum vonis atau pada 10 Juni 2009, Djoko berhasil melarikan diri menggunakan pesawat charter ke Port Moresby, Papua Nugini.

Pada 2012, Papua Nugini memberikan status kewarganegaraan Djoko Tjandra.

Mantan Jaksa Agung M. Prasetyo pernah mengungkapkan betapa sulitnya menangkap Djoko Tjandra karena status kewarganegaraan mereka telah berubah.

"Itulah kesulitan yang kita hadapi. Termasuk Samadikun, dia memiliki lima paspor. Di antara mereka, Edy Tansil, Djoko Tjandra pasti akan mengubah kewarganegaraan," kata Prasetyo pada 25 April 2016.

Prasetyo mencurigai bahwa Djoko telah dilindungi oleh keadaannya saat ini.

Belakangan, Djoko dikabarkan sudah pindah ke Singapura. Itu juga menyulitkan Pemerintah Indonesia untuk menangkapnya karena tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Singapura.

"Jika kita mengejar seseorang dan kita makan di restoran yang sama, kita tidak bisa hanya mencoba untuk mendapatkannya. Seperti itu," kata Prasetyo. link alternatif sbobet

Ajukan PK 


Belakangan, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku ditipu oleh Djoko Tjandra. Sebab, ia mendapat informasi bahwa Djoko Tjandra sudah ada di Indonesia sejak tiga bulan lalu.

Djoko Tjandra muncul setelah sebelas tahun dalam pelarian. Sejauh ini, Djoko Tjandra diketahui sering berada di Malaysia atau Singapura.

Tidak hanya itu, Djoko Tjandra juga telah mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dia mengaku sangat tersinggung dengan informasi ini. Karena Kejaksaan Agung telah berusaha untuk menangkap Djoko Tjandra, tetapi selalu sulit.

"Apa yang menyakiti hati saya, saya dengar Djoko Tjandra dapat ditemukan di mana-mana, di Malaysia dan Singapura. Tetapi kami meminta ada juga yang tidak bisa membawanya," kata Burhanuddin.

"Semakin banyak informasi yang menyakiti hati saya adalah dia mengatakan tiga bulan dia ada di sini. Baru sekarang buka," tambahnya.

Meskipun sesi PK telah bergulir sejak kemarin, Djoko Tjandra tidak menghadiri sidang.

"Orang yang bersangkutan tidak datang dengan alasan sakit," kata Humas Jakarta Selatan Humas Suharno saat dihubungi.

0 komentar:

Posting Komentar